Dinamikasumbawa.com
SUMBAWA- Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (P2KBP3A) Kabupaten Sumbawa, menggelar kegiatan case conference layanan korban kekerasan terhadap perempuan. Kegiatan tersebut berlangsung di kantor Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Sumbawa, Kamis (17/4/2025), dengan tema “Stop Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak”.
Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber utama, yakni Kepala Dinas P2KBP3A yang memaparkan materi terkait Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Serta perwakilan dari Polres dan Kejaksaan Sumbawa yang menjelaskan proses penanganan hukum terhadap kasus kekerasan.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak, Tati Hariati, menyampaikan bahwa case conference ini bertujuan melibatkan berbagai pihak dalam penyelesaian kasus kekerasan, khususnya yang sedang ditangani UPTD PPA. Mengingat keterbatasan tugas dan fungsi UPTD, dibutuhkan sinergi lintas sektor, termasuk dukungan dari media massa.
“UPTD diharapkan dapat memberikan respons cepat ketika ada laporan kekerasan, terutama pada perempuan dan anak. Pendampingan harus dilakukan secara menyeluruh, melibatkan semua pihak agar penyelesaiannya komprehensif,” jelas Tati.
Ia menjelaskan, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih mendominasi laporan kekerasan terhadap perempuan. Meskipun sebagian besar korban adalah perempuan, namun dalam beberapa kasus, laki-laki juga menjadi korban.
“Penanganan kasus rumah tangga harus mempertimbangkan banyak hal, terutama kepentingan anak. Kami juga melakukan mediasi untuk memastikan keluarga tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Namun, jika diperlukan, proses hukum tetap dijalankan untuk memberikan efek jera bagi pelaku,” ujarnya.
Data Dinas P2KBP3A mencatat, kasus kekerasan terhadap perempuan menunjukkan tren fluktuatif. Pada 2022 tercatat 17 kasus, menurun menjadi 10 kasus di 2023, dan kembali naik menjadi 11 kasus pada 2024. Sebagian besar merupakan kasus KDRT.
Sementara itu, kasus kekerasan terhadap anak menurun signifikan dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2022 tercatat 53 kasus, turun menjadi 45 kasus pada 2023, dan hanya 20 kasus pada 2024. Sebagian besar korbannya adalah anak perempuan, dengan jenis kekerasan terbanyak berupa kekerasan seksual. Ironisnya, mayoritas pelaku adalah orang terdekat korban. Akses mudah terhadap konten pornografi melalui gawai, disebut sebagai salah satu faktor penyebab tingginya kekerasan seksual pada anak.
Menurut Tati, upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak memerlukan pendekatan komprehensif. Karena itu, pendidikan, kesadaran masyarakat, pemberdayaan, serta layanan dukungan dan perlindungan bagi korban sangat penting. Begitu juga sinergi antar lembaga pemerintah, masyarakat dan komunitas dalam mencegah dan menangani kekerasan,” pungkasnya. (DS/02)